Rabu, 04 Januari 2012

Dinamika dan Tuntutan Kelompok Marjinal di Kota Solo



Cerita singkat berikut adalah mengenai dua dari sejumlah kelompok marjinal di Kota Solo, yaitu kelompok pedagang asongan dan pengemudi becak, yang akan mengilustrasikan dinamika kehidupan mereka dan relasinya dengan kebijakan perkotaan.
Pedagang Asongan
Pedagang asong membawa barang dagangannya (seperti makanan, minuman, rokok, koran) dalam sebuah keranjang atau kotak. Mereka beroperasi di dekat pasar, terminal, stasiun atau lampu lalu lintas. Di beberapa wilayah, seperti di terminal bus, keberadaan mereka jelas-jelas terlarang. Sebuah pasal dari Peraturan Daerah No. 5/1995, tentang “Terminal Bus”, menyatakan bahwa: Tak seorang pun di wilayah terminal diizinkan untuk bertindak secara terbuka atau tersembunyi seperti calo, pedagang asongan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, pemulung, penyemir sepatu, renternir/pelepas uang, berjudi, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok marjinal tentunya percaya bahwa sebagian aktivitas ini sah. Itulah sebabnya mereka merasa bahwa perda ini bersifat diskriminatif sebab perda itu membatasi hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara setara di tempat kerja. Karenanya, mereka terus menuntut agar perda tersebut direvisi. Perda ini dipakai sebagai landasan oleh penjaga keamanan terminal untuk mengambil tindakan tegas. Sekelompok pedagang asongan di Terminal Tirtonadi ditangkap oleh petugas keamanan terminal, barang dagangan mereka dan perlengkapannya dilemparkan dan mereka diperlakukan secara “tidak manusiawi”, seperti ditendang. Tak hanya pedagang asongan, tetapi musisi jalanan di terminal itu juga mengalami masalah serupa.

Membumikan Wawasan Multikultural di Indonesia Agama, Pluralisme, dan Pancasila sebagai Habitus Baru


Penulis : Benny Susetyo
Pluralitas di Indonesia adalah berkah tak ternilai harganya dari Tuhan Yang Maha Kuasa. sayangnya, manusia sering salah menerjemahkan rahmat tersebut sehingga kerap menjadi bencana. Bukanlah Tuhan yang menganugerahkan bencana, melainkan manusia yang memiliki cara pandang sempit (miopik) yang sering menyelewengkan rahmat tersebut menjadi bencana. Agama dan keberagamaan merupakan tolok ukur dan pintu gerbang (avant garde) menilai bagaimana pandangan pluralitas ditegakkan. Bagaimana individu dan kelompok tertentu memandang individu dan kelompok lainnya. Semangat keberagamaan yang cenderung memuja fundamentalisme menjadi akar masalah serius seringnya pluralitas berpeluang menjadi bencana daripada rahmat.
Artikel Terkait
• Kebebasan Beragama
• Minoritas; Bagaimana Seharusnya?
• Agama dan Mati Hidup Manusia
• Negeri Secupak Gandum Sedinar?
• Kingdom of Heaven
• Pesan Damai Dari Kingdom Of Heaven
• Umat Kristen Jangan sampai Menjadi Kerajaan

PLURALISME AGAMA DIINDONESIA MASIHKAH KITA DAPAT BERHARAP


oleh Abdul Moqsith Ghazali
Seseorang tidak bisa dikriminalisasi karena yang bersangkutan memilih sekte dan tafsir tertentu dalam beragama. Kementerian Agama tak boleh mengintervensi dan menjadi hakim yang bisa memutus tentang sesat dan tidaknya suatu tafsir dan ritual peribadatan. Seseorang bisa dikriminalisasi bukan karena yang bersangkutan menjalankan ritus peribadatan tertentu, melainkan misalnya karena di dalam ritual itu terdapat tindak kriminal seperti kekerasan yang merendahkan martabat manusia.
Banyak orang pesimis dan putus pengharapan perihal masa depan pluralisme agama di Indonesia. Pesimisme ini biasanya didasarkan pada beberapa indikator utama. Pertama, telah berpulangnya para tokoh agama yang gigih tanpa lelah memperjuangkan pluralisme, sementara tokoh baru dengan militansi yang sama dengan para pendahulunya tak segera matang dan dewasa. Meninggalnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Eka Darmaputra, TH Sumartana, Mangunwijaya, Gedong Bagus Oka, dan lain-lain tak jarang dianggap sebagai pertanda matinya pluralisme agama di Indonesia. Di lingkungan umat Islam, kepergian Almarhum Gus Dur dipandang sebagai pukulan telak bagi gerakan pluralisme. Mereka berpendirian, dengan wafatnya Gus Dur, maka langit pluralisme akan kian kelam dan buram.