Selasa, 13 Desember 2011

SISTEM RELIGI MASYARAKAT TENGGER Mohammad Riza Pahlevi, Adit Dewantoro, Hanafiyatul ulya, Nafisatur Rosidah, Ikhwan Panji, 2011, Universitas Negeri Semarang

ABSTRAK

Masyarakat Tengger adalah suatu masyarakat yang mendiami wilayah di sekitar kawasan Bromo. Masyarakat Tengger mayoritas beragama hindu yang masih kental dengan kepercayaan dan adat istiadat nenek moyangnya. Penelitian dilakukan di Desa Ngadisari kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Tujuan Penelitian ini adalah peneliti dapat mengetahui system religi di masyarakat Tengger, mengetahui kegiatan-kegiatan kepercayaan masyarakat Tengger, mengetahui kehidupan beragama di masyarakat Tengger.
Dari penelitian ini dihasilkan bahwa masyarakat tengger mayoritas menganut agama hindu. Akan tetapi antara Religi dengan kepercayaan masyarakat Tengger lebih kuat kepercayaannya dibandingkan religi atau agamanya. Religi atau agama lebih sebagai pelengkap kepercayaan (adat) masyarakat Tengger.
Masyarakat tengger di desa Ngadisari ini, mereka melakukan upacara-upacara karena sudah menjadi kewajiban yang sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit terutama untuk berbakti kepada Dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Upacara pada masyarakat tengger ada beberapa upacara yang dilakukan yaitu Upacara kasada, galungan, kuningan ,karo, sodoran.
Selain masyarakat tengger melakukan upacara-upacara tersebut, mereka juga masih melakukan kegiatan-kegiatan adat istiadat yang masih berhubungan dengan system religi seperti prosesi kelahiran atau sesuyut, perkawinan, kematian dan kepercayaan magis.
Kata Kunci : Kepercayaan, Religi, Masyarakat.

Tengger society is a society that inhabit the area around Bromo area. Tenggerese majority Hindu religion that is still thick with the beliefs and customs of his ancestors. The study was conducted in the Village Ngadisari Sukapura Probolinggo district, East Java.
The purpose of this research is the researcher can find out the system of religion in society Tengger, knowing the activities of public confidence Tengger, knowing Tengger religious life in society.
The result shows that the majority of people perched Hindu religion. However,between Religion with a stronger belief Tenggerese than religion or religiousbelief.Religion or religious beliefs rather as a complement to (traditional)Tenggerese.Ngadisari perch in the village community, they perform ceremonies because it has become a serious liability, but not the least, especially to devote to God or Lord, or to experience the satisfaction of personally religious, but they also assume that the ceremony is an obligation social. The ceremony at the perch there are several ceremonies that made the ceremony kasada, Galungan, brass, karo, sodoran.
In addition to perch society do these ceremonies, they also still do the activities of the customs that are associated with religious systems such as processions or sesuyut birth, marriage, death and magical beliefs.
Keywords: Belief, Religion, Society

PENDAHULUAN

Masyarakat Tengger adalah suatu masyarakat yang mendiami wilayah di sekitar kawasan Bromo, masyarakat Tengger mayoritas menganut agama Hindu, akan tetapi antara religi dengan kepercayaan masyarakat Tengger lebih kuat kepercayaannya dibandingkan religi atau agamanya. Religi atau agama lebih sebagai pelengkap kepercayaan (adat) masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger di desa Ngadisari ini, mereka melakukan upacara-upacara karena sudah menjadi kewajiban yang sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit terutama untuk berbakti kepada Dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Upacara pada masyarakat tengger ada beberapa upacara yang dilakukan yaitu Upacara kasada, galungan, kuningan ,karo, sodoran.
Masyarakat Tengger selain melakukan upacara-upacara tersebut, mereka juga masih melakukan kegiatan-kegiatan adat istiadat yang masih berhubungan dengan system religi seperti prosesi kelahiran atau sesuyut, perkawinan, kematian dan kepercayaan magis.
Objek wisata yang terletak di kabupaten Probolinggo, dimana selain panoramanya yang indah, hal menarik lainnya adalah bahwa masyarakatnya memiliki kebudayaan adiluhung yang masih lestari hingga sekarang.
Masyarakat Tengger terletak di daerah pegunungan, berada di kawasan gunung Bromo, Batok, dan Pananjakan, yang mana struktur demografinya berupa tegalan yang berlereng dan ada yang rata. Lokasi Masyarakat Tengger cukup jauh dengan jalan raya, hal itu terbukti bahwa jalan menuju ke lokasi masyarakat Tengger masih dapat dijangkau dengan alat transportasi.
Masyarakat Tengger hidup di era globalisasi ini namun masyarakat Tengger masih mempertahankan tradisi-tradisi yang kuat yang berasal dari para leluhur sehingga rasa kekeluargaannya masih sangat tinggi. Masyarakat Tengger sebagian besar hidup dengan bercocok tanam dan jasa. Masyarakat Tengger menempatkan sayur-sayuran dan jasa wisata sebagai dasar kemakmuran dan sumber mata pencaharian yang utama di bidang sektor ekonomi, sedangkan padi bagi masyarakat Tengger cenderung membeli hal itu karena kondisi tanah dan iklim yang tidak mendukung untuk padi tumbuh di lingkungan Tengger, dan lebih cenderung pada sayur-sayuran seperti kubis, kentang dan daun bawang.
Masyarakat Tengger kelurahan Ngadisari dijadikan objek kajian penelitian kami karena dianggap sebagai suatu masyarakat yang masih mempertahankan kebudayaan nenek moyang di tengah industri pariwisata yang telah memasuki lingkungan masyarakat Tengger, di samping itu masyarakat Tengger juga dianggap memiliki keunikan tersendiri dalam kebudayaan dan dapat memadukan unsur-unsur modern dan unsur tradisional, sehingga walaupun telah ada industri pariwisata yang masuk, masyarakat Tengger tetap berorientasi pada pengembangan dan kelestarian budaya mereka. Salah satu unsur dari kebudayaan adalah system religi atau kepercayaan yang menjadi objek kajian penelitian kami karna memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan kebudayaan yang dipercaya bahwa kebudayaan masyarakat Tengger masih cukup kental dan terjaga kelestariannya sehingga kami ingin mengkaji sistem religi atau kepercayaan mereka

TUJUAN

Tujuan umum penelitian adalah mengetahui yang meliputi :
1. Dapat mengetahui system religi di masyarakat Tengger.
2. Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan kepercayaan masyarakat Tengger.
3. Untuk mengetahui kehidupan beragama di masyarakat Tengger.


METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif untuk mengetahui gambaran bagaimana system realigi yang ada pada masyarakat Tengger. Metode penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengorek atau mendapatkan data. Pada penelitian ini metode penelitiannya yaitu observasi wawancara dan dokumentasi

a. Metode Observasi
Observasi adalah dilakukan dengan pengamatan langsung pada masyarakat Tengger. Tujuan dari pengamatan ini adalah memperoleh petunjuk lebih jelas tentang kehidupan masyarakat Tengger.
Observasi kami lakukan pada saat melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) I kegiatan ini dilaksanakan di lingkungan Bromo, Kelurahan Ngadisari, Kecamatan Sukapura , Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, pada tanggal 31 Maret 2010, pukul 10.00.

b. Wawancara (Interview)
Selain menggunakan teknik observasi, penyusun juga melakukan pengumpulan data dengan wawancara (interview). Kegiatan ini penyusun lakukan dengan cara bertanya langsung kepada narasumber yakni masyarakat Tengger yang berada di kelurahan Ngadi Sari, Kecamatan Suka Pura, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur antara lain Kepala adat, dan beberapa warga kelurahan ngadi Sari, kecamatan Suka Pura, Kabupaten Probolinggo. Pada saat melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) I kegiatan ini dilaksanakan di lingkungan Bromo, Kelurahan Ngadisari, Kecamatan Sukapura , Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, pada tanggal 31 Maret 2010, pukul 10.00.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Masyarakat Tengger
Masyarakat Tengger merupakan sebuah masyarakat yang masih kental dengan nuansa adat dan dapat dikatakan mistik. Masyarakat ini merupakan penduduk asli yang berdiam di kawasan Bromo, tepatnya yaitu desa Ngadisari yang terletak di Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo Provinsi Jawa Timur. Dari hasil observasi diketahui bahwa Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo terdapat tiga dusun di antaranya:
1. Dusun Wanasari
2. Dusun Ngadisari
3. Dusun Cemara Lawang
Desa Ngadisari terletak antara 70 56′ 30″ LS dan 1120 37′ BT, dengan ketinggian 2.329 m dml. Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo Provinsi Jawa Timur mempunyai kemiringan 30˚- 45˚ dari permukaan tanah. Mempunyai luas ± 450 Ha, dengan jumlah penduduk sekitar 3030 jiwa. Jarak desa ke kota ± 45 km, dengan kota terdekat yaitu Probolinggo. Kondisi wilayah Desa Ngadisari yaitu jalan utama yang ada di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo telah beraspal, jalan yang menanjak memiliki kemiringan sekitar 30˚- 45˚.
Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo termasuk desa yang padat penduduk, hal ini dapat terlihat dari jarak antara rumah satu dengan rumah yang lain hanya ±1 sampai 1,5 meter. Gang jalan mempunyai lebar ± 2 meter.
Dibelakang rumah warga khususnya disepanjang kiri jalan langsung berbatasan dengan tebing yang curam. Tebing tebing tersebut mempunyai kemiringan antara 150˚ sampai 160˚ derajat di permukaan tanah dengan di tanami pohon pinus. Diatas tebing, tepatnya di tepi jalan lahan dimanfaatkan untuk memanam sayuran seperti kentang, kubis, wortel dan daun bawang.

Sistem Kepercayaan
Sistem religi adalah agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan agama sebagai berikut: sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati. Sistem religi adalah sistem yang di dalamnya memuat tentang agama serta aliran kepercayaan dan seluruh hal yang terkait dengan itu sepeti tata cara, ceremony, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Berdasarkan sejarah terjadinya dengan kedatangan agama Islam di Pulau Jawa pada 1426 M, orang-orang Hindu ini terdesak dari daerah pantai hingga akhirnya menetap di daerah yang sulit dijangkau oleh pendatang, yaitu di daerah pegunungan Tengger. Disanalah mereka membentuk sebuah kelompok sendiri yang hingga kini masih dikenal dengan orang atau tiyang Tengger. Pada abad ke-16, para pemuja Brahma di Tengger kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi (parsi berasal dari kata Persia, yaitu “wilayah di sekitar negara Iran”). Akhirnya, orang-orang Tengger yang semula beragama Brahma beralih ke agama Parsi, yaitu agama Hindu Parsi (Suyono, Capt.R.P. 2009:23).
Beralihnya orang Tengger dari agama Brahma ke Hindu Parsi ternyata belum dapat menghilangkan seluruh kepercayaan awalnya. Orang Tengger masih tetap melakukan ajaran Budha. Bahkan, kebiasaan ini pada akhirnya dianut juga oleh pendatang Hindu Parsi (Suyono Capt.R.P. 2009:25).
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya bahwa agama hindu yang telah memayoritasi di masyarakat tengger termasuk di Desa Ngadisari ini. Adapun tiga prinsip ajaran Hindu masyarakat Tengger antara lain :
• Pemujaan kepada Tuhan
• Pemujaan kepada Leluhur
• Pemujaan kepada alam semesta.
Akan tetapi antara religi dengan kepercayaan masyarakat Tengger lebih kuat kepercayaannya dibandingkan religi atau agamanya. Religi atau agama lebih sebagai pelengkap kepercayaan (adat) masyarakat Tengger.

Ritual pada Masyarakat Tengger
Konsep sembahyang umat Hindu adalah menghadap Segara Gunung. Ketika masyarakat tersebut berada di wilayah gunung maka tempat tempat sembahyang atau Pura harus menghadap ke gunung seperti halnya pada masyarakat Tengger yang tinggal diwilayah Gunung Bromo, maka seolah-olah mereka menghadap ke Gunung Bromo.
Mengenai azas-azas religi, yang mendekati masalahnya terletak pada upacaranya yang telah mengembangkan adalah W. Robertson Smith, (Koentraningrat 1987:67) dalam salah satu gagasannya bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Tengger di desa Ngadisari ini, mereka melakukan upacara-upacara karena sudah menjadi kewajiban yang sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit terutama untuk berbakti kepada Dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Upacara pada masyarakat Tengger ada beberapa upacara yang dilakukan yaitu
a. Kasada
Kasada merupakan perayaan terbesar orang-orang Tengger, dan merupakan hari raya khusus masyarakat Tengger dan tidak berlaku bagi agama hindu lainnya.
Upacara Kasada diperingati pada bulan ke 10 atau Kasada (dalam kalenderJawa )antara bulan Agustus September. Dilakukan dengan mengambil air suci atau tirta dari gunung Widodaren untuk penyucian jiwa masyarakat Tengger di laut pasir atau poten dan ritual ini dinamakan nglukat umat. Tujuan dari Kasada adalah untuk sedekah bumi yaitu hasil pertanian dan peternakan. Fungsi dari upacara tersebut adalah untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Sedekah bumi itu setengahnya dimasukkan ke dalam kawah gunung Bromo dan sebagian diletakkan di lautan pasir ( biasanya disebut Ongkek ). Waktu pelaksanaan Kasada dimulai jam 12 malam dan sebelumnya dibawa, maka harus diletakkan terlebih dahulu di Pura Luhur Poten untuk dibacakan mantra, setelah itu baru kemudian dilempar ke kawah. Upacara Kasada juga disebut sebagai Upacara labuh sesaji. Upacara adat pada masyarakat Tengger secara komunal ada 6, antara lain adalah :
• Upacara Karo
• Pujan Kapat yaitu pemujaan bulan ke empat.
• Pujan Kapitu yaitu pemujaan bulan ke tujuh.
• Pujan Kawalu yaitu pemujaan bulan ke delapan.
• Pujan Kasanga yaitu pemujaan bulan ke sembilan.
• Pujan Kasada yaitu pemujaan bulan ke duabelas.

b. Upacara Galungan
Upacara galungan merupakan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Tengger yang dilakukan dengan cara, masyarakat Tengger membawa berbagai macam makanan yang kemudian dibawa ke Sanggar dan bersembahyang bersama, setelah itu makanan makanan tersebut dimakan bersama.

c. Upacara Kuningan
Kuningan sejenis upacara sembahyang hari besar sebelum kasada. Yang bertujuan untuk menyelamati warga. Biasanya dilaksanakan pada Rabu Agung.
a. Upacara Karo
Seperti upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa terutama yang beragama islam, yang biasanya dilaksanakan pada hari lebaran, yang tujuanya bersilaturahmi dengan tetangga dan agar manusia kembali pada kesucian untuk memperingati Sang Hyang Widhi. Upacara ini disebut juga satya yoga,di lakukan setahun sekali selama 120 hari. Biasanya sebelum upacara ini dilakukan pemujaan pada arwah keluarga yang telah tiada dipura bersama sama satu desa.
b. Upacara Sodoran
Yaitu upacara adat yang dilakukan untuk memperingati kelahiran manusia dahulu kala . Dalam upacara ini terdApat prosesi pemanggilan roh-roh halus.
Selain terdapat ritual-ritual diatas masyarakat Tengger juga melakukan ritual-ritual seperti:

1. Proses kelahiran dan sesayut

Prosesi kelahiran atau sesayut dalam masyarakat Tengger tidak terlalu sakral, ada beberapa prosesi yang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, diantaranya adalah 7 bulanan yaitu selamatan yang diadakan ketika usia kandungna berumur 7 bulan dan dilakukan upacara selamatan dengan adanya dukun sebagai orang yang mendoakan, selamatan dengan mendoakan bayi dengan makanan berupa cepal, maupun pisang yang beraneka macam. Selain itu, ketika bayi berusia 44 hari maka dilaksanakan acara lek-lekan (adat Jawa) berupa nasi tumpeng. Setelah itu upacara Turun Tanah atau biasa disebut “Ngrosoki” . Ketika bayi beranjak dewasa diadakan Selamatan yang disebut “Indung”. Ada juga upacara “Potong-Tugel Kuncung” yaitu prosesi potong rambut seperti halnya pada sinkretisme masyarakat Jawa.

2. Perkawinan
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan tercapainya suatu pernikahan yang pertama adalah menanyakan hari dan tanggal kepada kepala desa, yang dilakukan mempelai pria. Yang kedua mencocokan tanggal dan hari kepada dukun adat untuk disesuakan dengan weton Jawa. Yang ketiga lamaran dilakukan oleh orang tua pria. Tata cara perkawinan ada dua yaitu pawilahan atau ijab Kabul. Yang kedua Walagara, atau temu manten. Upacara perkawinan ini biasanya disebut dengan upacara Praswata Gara.
Tidak ada batasan tetapi dalam perkawinan masyarakat kembali pada yang bersangkutan artinya masyarakat tengger menikah dengan orang yang berasal dari masyarakat luar tengger hanya saja kembali pada keyakinannya. Jika pengantin wanita berasal dari tengger maka tata cara proses pernikahan melalui proses hindu. Bias juga dikataka tidak ada aturan untuk persyaratan pernikahan.

3. Kematian
Sistem Ngaben Jawa dalam sistem jawa penguburannya tidak sama dengan adat Hindu di Bali. Masyarakat tengger sendiri mempunyai kawasan dengan agama Islam di Jawa yaitu dimakamkan dengan mengenakan kain kafan tetapi dengan badan menghadap ke atas atau terlentang dengan kepala diposisi selatan menghadap kawah Gunung Bromo. Sesudah dimakamkan dibuatkan boneka yang terbuat dari daun-daun tertentu dan pelepah pisang kemudian dibakar di Danyang atau pepunden. Upacara ini disebut ntas-ntasan.upacara ini biasanya dilakukan ketika keluarga yang bersangkutan mempunyai biaya yang besar karena upacara tersebut membutuhkan prosesi yang cukup rumit. Dalam upacara ini, adapaun penyerahan sesaji yang jumlahnya disesuaikan dengan arwah yang di entas-entaskan. Adapun tujuanya yaitu untuk penghapusan dosa. Di dalamnya masyarakat atau keluarga tersebut wajib menyerahkan sesaji yang isinya berbagai jenang merah dan putih dan berbagai buah-buahan yang dipotong kecil-kecil dan berbagai bunga, yang dimantrai oleh dukun. Setelah itu ada penghapusan dosa yang disimbolkan dengan ayam yang dilepaskan, kemudian diberi beras, di boneka duplikat tadi diberi sejumput beras pada bagia kepala boneka, jika beras itu habis maka dosanya dipercaya akan diampuni semuanya.

4. Kepercayaan magis
Pada masyarakat Tengger di desa Ngadisari ada beberapa hal yang dianggap mempunyai kekuatan (magis), diantaranya adalah
• Dalam upacara kematian, Danyang atau Pepunden dianggap keramat (sakral) oleh masyarakat Tengger. Danyang itu sendiri merupakan tempat keramat yang digunakan untuk membakar bunga-bunga, boneka-boneka yang terbuat dari pelepah pisang dan kemudian dibakar sampai habis.
• Pawang hujan dipercaya bisa mengendalikan hujan.
• Tempat yang disakralkan salah satunya adalah Sanggar Tunggal Jati yang merupakan tempat sembahyang bagi para umat Hindu disana. Apabila masuk harus disucikan terlebih dahulu dengan air suci, untuk perempuan harus suci (tidak dalam keadaan menstruasi), tidak boleh berpikir maupun berkata tidak baik.
• Padmasana merupakan tempat meletakkan sesaji, biasanya isi sesaji terdiri dari buah buahan yang dipotong kecil kecil yang dimasukkan ke Tamping ( dari daun pisang ). Padmasana biasanya diletakkan di pertigaan atau peempatan jalan dan sebagaian ada yang di depan rumah.
• Tamping yang berisi bunga bunga dan jenang merah maupun putih yang diletakkan di depan dan di belakang rumah yang bertujuan untuk menangkal bala atau malapetaka, penyakit dan hal hal buruk yang akan menimpa keluarga tersebut.
• Masyarakat Tengger tidak terlalu mempercayai adanya santet,pellet, tenun atau hal hal sejenisnya, karena hal tersebut jarang terjadi du masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger menganggap berbagai hal yang menyalahi adat istiadat agama adalah tabu, yang diantaranya adalah :
• Dilarang melangkahi pawon,jika dilanggar jadohnya akan direbut oleh orang lain.
• Dilarang adanya pernikahan yang masih ada hubungan darah atau keluarga atau disebut papagan wali dan apabila larangan ini dilanggar, maka bala atau malapetaka akan datang.
• Jika dalam pemilihan calon dukun, ketika pelantikan lupa akan mantra itu pertanda alam tidak mengijinkan menjadi dukun, dan calon dukun harus diganti.
• Untuk disekitar kawasan Bromo diperingatkan tidak boleh membawa batu batu dari sana dan tidak boleh buang air kecil menghadap Kawah Bromo.
• Untuk di dalam pura (tempat sembahyang) tidak boleh berpikiran berkata dan berbuat yang tidak baik. Bagi perempuan yang tidak suci atau haid tidak diperbolehkan masuk ke dalam Pura.


Kini agama yang dianut oleh masyarakat Tengger tidak sebatas agama Hindu saja karena kini masyarakat Tengger telah menerima keberadaan agama lain di kawasan mereka. Hal ini dipengaruhi oleh hilangnya peraturan yang mewajibkan masyarakatnya untuk menikah dengan orang asli Bromo yang beragama Hindu pula. Pola pikir masyarakat juga sangat mempengaruhi hal ini.


KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas terkait dengan system religi pada masyarakat tengger bahwa masyarakat tengger mayoritas menganut agama hindu. Akan tetapi antara Religi dengan kepercayaan masyarakat Tengger lebih kuat kepercayaannya dibandingkan religi atau agamanya. Religi atau agama lebih sebagai pelengkap kepercayaan (adat) masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger di desa Ngadisari ini, mereka melakukan upacara-upacara karena sudah menjadi kewajiban yang sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit terutama untuk berbakti kepada Dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Upacara pada masyarakat tengger ada beberapa upacara yang dilakukan yaitu Upacara kasada, galungan, kuningan ,karo, sodoran.
Selain masyarakat tengger melakukan upacara-upacara tersebut, mereka juga masih melakukan kegiatan-kegiatan adat istiadat yang masih berhubungan dengan system religi seperti prosesi kelahiran atau sesuyut, perkawinan, kematian dan kepercayaan magis.
Kini agama yang dianut oleh masyarakat Tengger tidak sebatas agama Hindu saja karena kini masyarakat Tengger telah menerima keberadaan agama lain di kawasan mereka. Hal ini dipengaruhi oleh hilangnya peraturan yang mewajibkan masyarakatnya untuk menikah dengan orang asli Bromo yang beragama Hindu pula. Pola pikir masyarakat juga sangat mempengaruhi hal ini.



DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, james. 2002. Foklor Indonesia. Grafiti: Jakarta
Http: www. Google.com/ Religi

Joyomartono, Mulyono. 1991. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat Dalam
Pembangunan. IKIP Semarang Perss: Semarang.

Koentjaraningrat.1990. Pengantar Ilmu Antropologi.Rineka Cipta:Jakarta
Moeleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PTRemaja Rosdakarya
Prastowo,Andi.2010.Menguasai Teknik-teknik Korelasi Data Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Diva Press
Soekanto,Soerjono.1982.Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.

Suyono,Capt R.P. 2009. Mistisisme Tengger. Yogyakarta PT LKIS Printing
Cemerlang














3 komentar:

  1. sama2 beragama hindu tetapi mereka tidak mau disamakan dengan masyarakat bali yang mayoritas beragama hindhu juga. .

    BalasHapus
  2. mantap nih hasil dari pengamatan mata sendiri
    sambil jalan-jalan sambil menganalisa.
    tapi kok saya belum lihat teori yang dipake buat mengupasnya yah..hehe

    BalasHapus
  3. postingan yang diterbitkan cukup menarik tentang masyarakat suku tengger.tema yang diangkat pun cukup informatif

    BalasHapus